Ekonomi

Pakistan Telah Memberikan Surplus Dagang CPO, Harus Dipertahankan  

JAKARTA-Disaat diskriminasi sawit yang dilakukan Uni Eropa dan ketidak pastian ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ke China karena tergerus perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Pakistan telah menjadi tujuan dari perdagangan komoditas unggulan Indonesia ini. 

Prof. Dr. Nunung Nuryantono, Dekan Fakultas Ekonomi IPB, mengatakan Pakistan memiliki peran penting bagi Indonesia, karena telah memberikan kontribusi surplus, mitra dagang dan importir minyak sawit terbesar. Hal ini, harus dirawat keberlangsungannnya. 

"Seiring dengan kemajuan ekonomi yang dicapai Indonesia bahwa dipandang perlu bagi Indonesia untuk melakukan langkah lebih maju dari sekadar berdagang an sich dengan Pakistan", ujar Prof. Nunung Saat membuka forum Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Senin, 13 Mei 2019.

FGD menjadikan Pakistan sebagai hub bisnis minyak Indonesia untuk memperbesar pasar minyak sawit Indonesia di Pakistan dibahas dan diuji di hadapan para ahli.

"FGD ini merupakan bagian dari proses kajian yang tengah berlangsung oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), bekerja sama dengan Pricewaterhouse Coopers (PWC) Pakistan," ucapnya.

FGD yang diinisiasi KBRI Islamabad bersama BBDP-KS dan Litbang Kemdag RI ini menghadirkan para panelis dan pengkaji ahli seperti Prof. Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Pertanian UNILA, Dr. Diana Chalil, Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Muhammad Firdaus, IPB, Dr. Parulian Hutagaol, IPB, Togar Sitanggang, GAPKI, Dono Bustami, BPDPKS, Dr. Kasan, Kemendag RI dan para komentator.

Terlebih Indonesia telah memulai aktivitas kerja sama perdagangan dengan skema Preferential Trade Agreement (PTA) yang telah berjalan produktif sejak 2013.

Pendekatan komprehensif dengan Pakistan termasuk penjajakan investasi di sektor sawit dan turunannya serta potensi di sekitar negara Pakistan untuk pemasaran produk sawit juga menjadi fokus bahasan.

Hal tersebut disepakati oleh Dekan Fakultas Ekonomi IPB dan Dubes RI Islamabad, Iwan Suyudhie Amri, dalam kesempatan keynote speech.

Dubes Iwan Amri lebih lanjut menyampaikan bahwa seiring dengan kapasitas ekonomi Indonesia yang semakin besar, Indonesia memerlukan halaman bermain yang lebih luas.

Menjadikan Pakistan sebagai hub minyak sawit Indonesia juga harus dilihat dalam perspektif kepentingan lebih luas dalam konteks geo-strategis hubungan internasional.

Dalam sesi panel disampaikan beberapa isu antara lain dari Togar Sitanggang, wakil GAPKI dan Prof. Parulian Hutagaol dari IPB yang menyoroti tinjauan kritis terhadap hasil riset yang dinilainya belum konklusif.

Menurut dia, konten penelitian masih berbobot kualitatif, perlu dukungan data kuantitatif, variabel tambahan yang berpengaruh seperti ongkos ekonomi, konektivitas, transportasi, dinamika situasi keamanan, dan geo-poilitik Pakistan perlu lebih digali.

Disadari bahwa sebagai dari proses kajian, FGD ini memang dimaksudkan untuk menyempurnakan kajian sehingga aspek-aspek yang menjadi fokus bahasan kritis nantinya akan menjadi bagian kajian utuh dalam proses penyempurnaan hasil riset.

Yang tidak kalah penting untuk dimuat juga tentang pelaku pasar dan konsumen di Pakistan dimana bagian ini akan langsung dilengkapi oleh tim peneliti dengan berkunjung langsung ke Pakistan pada bulan Juni 2019 mendatang.

Dubes Iwan Amri mengharapkan riset ini akan menjadi langkah awal bagi riset serupa tentang komoditas lain yang akan dipenetrasikan produknya baik ke Pakistan maupun negara lain.

Dicatat bahwa riset menjadikan negara lain sebagai hub bagi pemasaran produk unggulan Indonesia adalah merupakan kali yang pertama dilakukan.

Meskipun para peserta juga mencatat adanya keraguan akan benefit menjadikan Pakistan sebagai hub bisnis minyak sawit Indonesia, justru hal tersebut memancing kebutuhan studi yang lebih komprehensif, dengan memperhatikan variabel penting lainnya yang belum tercantum dalam kajian awal.

Kepala Litbang Kemendag, Dr. Kasan, dan Dubes Iwan Amri dikutip dari Antara, melihat keraguan tersebut hendaknya tidak menjadi penghalang namun sebagai pendorong bagi Indonesia untuk memulai menyusun strategi perluasan pasar sawit Indonesia agar pada saat dibutuhkan Indonesia telah siap dengan hasil kajian yang sistematis dan komprehensif.

Sasaran lainnya adalah Indonesia tidak boleh ketinggalan dari negara lain yang telah melihat Pakistan sebagai negara yang tengah berbenah untuk tumbuh termasuk serius mengembangkan mega proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC).

Para peserta FGD sepakat, bagi Pakistan kebutuhan terhadap kelapa sawit masih besar karena kelapa sawit sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan budaya kuliner masyarakat Pakistan.

Bahkan dari data sementara penelitian diketahui bahwa 85 persen produk sawit dari Pakistan diekspor ke Uni Eropa.

"Upaya lanjutan termasuk penelitian dinilai masih relevan untuk menjawab apakah Indonesia sudah cukup puas hanya dengan memanfaatkan Pakistan sebagai tujuan pasar, yang apabila tidak tingkatkan, hubungan dagang kedua negara yang berkesinambungan akan sulit dicapai," tutup Dubes Iwan Amri.(rdh) 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar